Rancang Kota dan Peran Regulasi Hukum Dalam Studi Fenomena Ruang Publik Kota Jayapura

Authors

  • Rocky Khen John Wutoy Program Studi Teknik Sipil, Universitas Papua, Indonesia
  • Gracesella Hardianti Batistha Ranindaya Program Studi Hukum, Universitas Sepuluh November Papua, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.38035/jim.v4i4.1441

Keywords:

Ruang Publik, Jayapura, Hukum Tata Ruang, Desain Kota, Partisipasi Sosial, Keberlanjutan

Abstract

Ruang publik berperan penting sebagai wadah interaksi sosial, aktivitas budaya, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota serta regulasi hukum dalam mengelola fenomena ruang publik. Namun, di Kota Jayapura, fungsi ruang publik belum berjalan optimal akibat keterbatasan aksesibilitas, kenyamanan, dan rendahnya partisipasi sosial. Kondisi geografis Jayapura yang 95% berupa perbukitan menjadi tantangan dalam penyediaan ruang komunal yang inklusif. Dalam perspektif Jan Gehl, Henri Lefebvre, dan Jürgen Habermas, ruang publik tidak hanya dipahami sebagai elemen fisik, tetapi juga arena sosial dan diskursif yang 0mencerminkan kehidupan demokratis. Penelitian ini menggunakan paradigma positivistik dengan metode deduktif-rasionalistik dan pendekatan mixed methods. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kualitas fisik ruang publik melalui pendekatan urban design, sedangkan analisis kualitatif menelaah peraturan-peraturan yang berlaku terhadap pengelolaan ruang publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Tahun 2013-2033. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas ruang publik di pusat Kota Jayapura berada pada kategori “Tidak baik” (indeks rata-rata 2,4), dengan keterbatasan utama pada aspek fisik seperti penerangan, teduhan, dan fasilitas duduk (<50%). Secara regulasi hukum belum optimal diterapkan sehingga ditemukan ketidaksinkronan antara regulasi nasional dan daerah yang menyebabkan lemahnya pengawasan dan partisipasi publik. Berdasarkan sintesis teori Gehl, Lefebvre, dan Habermas, ruang publik di Jayapura belum berfungsi sebagai arena sosial yang demokratis dan inklusif. Oleh karena itu, diperlukan integrasi antara peraturan hukum nasional maupun daerah yang berkaitan dengan desain berbasis manusia untuk mewujudkan ruang publik yang berkelanjutan, partisipatif, dan mencerminkan identitas budaya masyarakat Papua.

References

Gehl, J. (1987). Life Between Buildings: Using Public Space. New York: Van Nostrand Reinhold, pp. 11–35. (1)

Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: MIT Press, pp. 58–77. (2)

Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Oxford: Blackwell, pp. 26–46. (3)

Pemerintah Kota Jayapura. (2014). Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jayapura Tahun 2013–2033. Jayapura: Pemkot Jayapura. (4)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 68. (7)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja

Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013–2033

Carmona, M., Heath, T., Oc, T., & Tiesdell, S. (2010). Public Places, Urban Spaces: The Dimensions of Urban Design. Routledge.

Indonesian National Standard (SNI 7391:2008). Tata Cara Perencanaan Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Sekitarnya.

Downloads

Published

2025-11-13

How to Cite

Wutoy, R. K. J., & Ranindaya, G. H. B. (2025). Rancang Kota dan Peran Regulasi Hukum Dalam Studi Fenomena Ruang Publik Kota Jayapura. Jurnal Ilmu Multidisiplin, 4(4), 2730–2750. https://doi.org/10.38035/jim.v4i4.1441